Rabu, 15 Januari 2014

Sistem Budidaya Tanaman Hortikultura di Indonesia

BUDIDAYA TANAMAN HORTIKULTURA DI INDONESIA
Sejarah budidaya buah-buahan telah berlangsung sangat lama. Candi Borobudur yang dibangun pada tahun 824 M sudah mengabadikan pohon pisang, mangga, durian dan nangka pada relief di dindingnya. Demikian pula relief ataupun patung di candi-candi lain, seperti Candi Mendut dan Candi Sukuh telah menggambarkan pentingnya buah-buahan, sayuran dan bunga. Demikian juga tanaman obat telah digunakan oleh bangsa Indonesia sejak jaman dahulu kala. Ini berarti pada masa itu dan mungkin masa sebelumnya tanaman hortikultura telah diusahakan di pulau Jawa. Pada awalnya pohon buah-buahan hanya tumbuh liar di hutan, dan masyarakat memungut buah-buahan dari pohon tersebut. Sampai saat ini masih cukup banyak buah-buahan yang diperdagangkan berasal dari hutan. Salah satu contoh adalah buah durian. Perkembangan selanjutnya, buah-buahan diusahakan pada lahan bekas hutan dan di pekarangan. Pada saat ini, sistem produksi tanaman hortikultura dapat dikelompokkan atas tujuh sistem produksi. Ketujuh sistem produksi tersebut dari sistem yang hampir tanpa pengelolaan sampai sistem dikelola dengan intensif, masih terdapat di Indonesia. Sistem produksi tersebut meliputi:
1. Sistem Pekarangan. Pada sistem ini, pohon buah-buahan ditanam hanya beberapa pohon bersama dengan tanaman lain seperti sayuran, bunga, maupun tanaman biofarmaka. Karena luas pekarangan yang relatif sempit dan beranekaragamnya tanaman yang ada di pekarangan, maka masing-masing spesies hanya ditanam sedikit. Tetapi karena total areal pekarangan di Indonesia yang cukup luas, maka total produksi buah-buahan yang berasal dari pekarangan juga tinggi. Di pekarangan, pohon buah-buahan biasanya tidak diandalkan sebagai sumber penghasilan utama. Oleh karena itu seringkali tanaman buah dibudidayakan dengan pengelolaan yang minimal. Pohon yang dibudidayakan seringkali sudah tua dan berasal dari seedling atau cangkok. Pohon-pohon muda dipekarangan yang ditanam sesudah era tahun 70 an, banyak pula yang berasal dari bibit sambungan atau tempelan (okulasi). Buah-buahan yang biasanya dibudidayakan di pekarangan antara lain adalah mangga, rambutan, pisang, nenas, nangka, jambu air, jambu biji, belimbing, pepaya dan durian. Tanaman sayuran yang sering ditanam di pekarangan antara meliputi katuk, bayam, kangkung, kenikir, kemangi, beluntas, cabe, tomat, terung, dan lain-lain. Tanaman sayuran berupa pohon seperti melinjo dan turi juga banyak ditanam di pekarangan. Tanaman biofarmaka yang banyak ditanam di pekarangan antara lain adalah Dlingo, Jahe, Kapulaga, Kejibeling, Kencur, Kunyit, Lempuyang, Lengkuas, Temulawak, Temuireng. Sedangkan pada kelompok tanaman hias dan bunga banyak jenis yang sering ditanam di pekarangan.
2. Sistem Hutan-Kebun Campuran. Pada sistem ini, pohon buah-buahan ditanam di ‘kebun’, ialah lahan kering di luar desa secara bersama-sama dengan pohon-pohon dan tanaman lain. Pada sistem ini biasanya ada satu atau dua spesies yang dominan. Sistem ini berkembang cukup luas di Sumatera dan Kalimantan serta di desa-desa di Jawa yang jauh dari kota. Tanaman buah yang ditanam biasanya berasal dari biji (seedling) dan berumur tua. Karena itu, buah yang dihasilkan mempunyai keragaman tinggi. Tanaman pada sistem produksi ini juga dikelola secara minimal, bahkan ada yang hanya dipanen tanpa pengelolaan yang berarti, sehingga mutu buah yang dihasilkan biasanya rendah. Tanaman buah yang dibudidayakan dengan sistem ini meliputi antara lain manggis, duku, durian, rambutan, lengkeng. Beberapa sayuran dan tanaman biofarmaka sering tumbuh di bawah atau diantara pohon buah-buahan, antara lain meliputi zingibreaceae, temu-temuan, singkong, dan lain-lain.
3. Sistem Monokultur Buah-buahan Skala Kecil. Pada sistem ini tanaman hortikultura dibudidayakan di kebun, lahan kering, lahan sawah yang dikeringkan (pada musim kemarau) secara intensif, dengan pengelolaan yang baik. Karena itu biasanya mutu komoditas yang dihasilkan baik dan produktivitasnya tinggi. Pohon buah-buahan yang ditanam berasal dari hasil perbanyakan vegetatif, sehingga buahnya relatif seragam. Buah-buahan yang dibudidayakan antara lain meliputi pepaya, pisang, nenas, jeruk, belimbing, sirsak, jambu biji, mangga, rambutan dan apel.
4. Sistem Tumpangsari antara pohon buah-buahan dengan tanaman lain. Pada sistem ini diantara pohon buah-buahan yang ditanam, masih ditanami tanaman semusim. Sebagai contoh adalah mangga di Indramayu yang ditanam di sawah, sehingga diantara tanaman mangga masih ditanami padi. Pada kebun mangga di beberapa daerah juga ditumpangsarikan dengan tanaman lain seperti kacang tanah, cabe dan tomat pada saat tanaman mangga masih muda. Di dataran tinggi, seringkali dilakukan penanaman sayuran secara tumpangsari, seperti wortel dengan kubis dan banyak kombinasi tumpangsari lainnya.
5. Sistem Perkebunan Buah. Sistem ini dikelola oleh perusahaan agribisnis. Tanaman buah dibudidayakan secara monokultur dengan skala luas dan pengelolaan yang intensif. Sistem ini menghasilkan buah dengan mutu tinggi dan seragam. Produktivitas kebun juga tinggi. Buah yang diproduksi dengan sistem ini meliputi: nenas, pisang, mangga, jeruk, markisa.
6. Sistem Produksi Hortikultura Semusim. Pada sistem ini dibudidayakan tanaman semusim seperti berbagai jenis sayuran dan bunga, buah semangka, melon dan lain-lain. Pengelolaan tanaman biasanya intensif, dengan menggunakan benih komersial. Sistem produksi ini biasanya produkstivitasnya tinggi dan kualitas yang dihasilkan cukup baik. Kubis, kubis bunga, wortel, tomat, paprika, petsai, lobak, bawang daun, bawang putih, buncis, kentang, dan sayuran yang berasal dari daerah temperate banyak ditanam di dataran tinggi, sedangkan kangkung, bayam, jagung muda, kacang panjang, cabe, tomat, bawang merah, ketimun, labu, terung banyak ditanaman secara monikultur di dataran rendah.
7. Sistem Produksi Intensif. Sistem ini dikembangkan untuk mengusahakan buah-buahan, sayuran, dan bunga yang berasal dari daerah temperate seperti melon, strawberi, anggur, paprika, tomat, carnation dan lain-lain. Sistem ini juga meliputi sistem produksi hidroponik.
8. Sistem Produksi Hortikultura Organik. Akhir-akhir ini sistem ini menjadi kecendrungan dalam produksi sayuran. Banyak konsumen yang menghendaki sayuran dan buah organik. Untuk buah-buahan tertentu seperti durian, rambutan, sawo, manggis, kedondong, karena sebagian besar diusahakan secara agroforestri dan di pekarangan, biasanya organik (tidak dipupuk, tidak disemprot pestisida). Namun kebanyakan buah tersebut tidak secara formal diakui sebagai buah organik. Sedangkan untuk sayuran telah berkembang secara sistematis teknologi produksi sayuran organik. Sebagian dari sistem produksi ini sudah terakreditasi sebagai kebun sayuran organik.
Pada saat ini bunga yang dipasarkan di Indonesia sebagian besar berasal dari sistem produksi monokultur yang cukup intensif. Sayuran sebagian besar diproduksi dengan sistem produksi monokultur maupun tumpangsari, baik secara semi intensif maupun secara intensif. Sedangkan buah-buahan yang ada di pasaran dalam negeri sebagian besar berasal dari sistem pekarangan dan sistem Agroforestry. Minimnya pengelolaan dari dua sistem produksi ini menyebabkan buah yang dihasilkan biasanya berkualitas rendah. Selain itu buah-buahan tersebut keragamannya tinggi dan tidak ada kepastian citarasa. Dalam satu koli terdapat buah dengan kualitas tinggi, enak dan menyenangkan, bercampur dengan buah berkualitas rendah, masam dan tidak enak. Ketidakpastian kualitas ini disebabkan karena: (a) pohon yang ditanaman berasal dari hasil perbanyakan generatif (dari biji), sehingga kualitas antar pohon bisa berbeda; (b) karena buah berasal dari pekarangan, sedangkan pengelolaan pohon antar pekarangan bisa sangat berbeda, sehingga menghasilkan buah dengan kualitas yang berbeda; (c) banyak petani atau penebas yang melakukan panen serempak, baik buah masih muda maupun buah matang, kemudian buah tersebut diperam agar segera masak; (d) pengelolaan pasca panen buah yang buruk dan kadang-kadang ada kesengajaan mencampur buah buah bermutu tinggi dengan yang rendah.
Tingginya keragaman genetik tanaman buah yang ada pada kedua sistem produksi ini secara ekologi menguntungkan, tetapi ditinjau dari sisi agribisnis kurang menguntungkan. Keragaman yang tinggi menyulitkan perdagangan. Ketidakpastian citarasa menyulitkan pembuatan citra yang baik atas suatu produk. Sebagai contoh, mangga Arumanis sebenarnya mempunyai citarasa yang baik dan berkualitas tinggi, tetapi karena adanya keragaman yang tinggi, masyarakat seringkali ragu-ragu untuk membeli, karena khawatir mendapat mangga Arumanis berkualitas rendah. Kondisi ini berbeda dengan produk buah impor, yang karena sudah diseleksi dengan baik, ada jaminan terhadap keseragaman citarasa. Citarasa buah durian Monthong yang dibayangkan oleh pembeli akan dapat dibuktikan dengan membeli buah tersebut dimanapun.
Karena kondisi ini, maka pengembangan buah-buahan di Indonesia pada masa yang akan datang seharusnya mengarah pada sistem produksi monokultur ataupun tumpangsari dengan pengelolaan yang intensif dan bibitnya berasal dari hasil perbanyakan vegetatif. Dengan pengelolaan yang intensif, maka produkstivitas kebun akan tinggi, buah seragam dengan kualitas yang baik. Pada buku ini akan diuraikan sistem produksi intensif buah-buahan tropika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar